Minggu, 20 Maret 2011

soe hok gie dan soe hok djin (arief budiman)

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini. Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya. Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.
Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.



Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu saya sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata “Ah, mama tidak mengerti”.

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju – mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”.

Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: “Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu”. Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab “Tidak. Mengapa?” Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, “untuk siapa peti mati ini?” Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. “Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?” Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia meninggal”.

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”. Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik “Gie, kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.


Arief Budiman (Soe Hok Djin)
(seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993)

Tentang kata soe hok gie

8 Februari 1958
Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau

10 Desember 1959
Siang tadi, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah-satu gejala yang nampak di ibu kota.
Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-ketawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kita lah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”
“Aku besertamu, orang-orang malang.” Indonesia sekarang turun, turun dan selama tantang sejarah belum dapat dijawabnya, ia akan hancur. “Tanahku yang malang.” Harga barang membumbung semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror.
Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.

27 Mei 1960
Bagiku cinta bukan perkawinan. Dulu kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta=nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar bila kawin. Akupun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu.

12 Juni 1960
Masyarakat Borjuis
Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran disana
Dan kalian selalu menghindarinya
Aku selalu serukan (dalam hati tentu)
“Wahai, kaum proletar sedunia”
berdoalah untuk masyarakat borjuis.”
Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia disana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan dalam kepalsuan
Aku akan selalu berdoa baginya
Aku kira anda tiada kenal kasih
(Nafsu tentu ada)
Apakah bernilai dengan uang
Dan padamu, kawan
Semua adalah uang, perhitungan saldo
Tiada yang indah dalam kepalsuan
(Engkau tentu yakin?)
Di sinilah, amoral ditutup oleh amoral
Di sinilah, tabir-tabir yang terlihat
Dan seringkali aku bersepeda sore-sore
Bertemu dengan gadismu (borjuis pula)
Aku begitu sedih dan kasih
Ya, Tuhan berilah mereka kebenaran
Aku tahu
Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu
Tapi bagiku tiada apa.

9 Agustus 1960
Aku Cuma berfikir: Betapa malangnya nasib bangsa yang Cuma punya satu alternatif: totaliterisme. Moga-moga, terutama bagi Indonesia, Cuma punya satu pilihan: demokrasi. 

16 Desember 1961
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: “dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.” Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda mati. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai ini. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.

30 Maret 1962
Kata Profesor Beerling seseorang hanya dapat hidup selama masih punya harapan-harapan. Tapi sekarang aku berfikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tetapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa? Aku sekarang tengah terlibat dalam pemikiran ini. Sangat pesimis dan hope for nothing. Aku tidak percaya akan suatu kejujuran dari ide-ide yang berkuasa. Tetapi aku sekarang masih mau hidup. Aku tak tahu motif apa yang ada dalam unconscious mind-ku sendiri.
Pandanganku yang agak murung, bahkan skeptis ini pernah dinamakan sebagai pandangan destruktif. Memang life for nothing agaknya sudah aku terima sebagai kenyataan. Mungkin ada motif lain yang menggerakkannya. Barangkalia ku punya
perasaan untuk berkorban atau merasa sebagai hero dalam ketidakmengertian. Siapa tahu? Apakah rasa kepuasan akan datang bila aku berkorban? Misalnya saja selau membebankan diri dalam situasi yang paling tidak disenangi orang. Kalau begini memang dasar sikap hidupku, situasi akan agak aneh. Aku tidak pernah membuat sesuatu untuk pameran sok-sok-an. Padangan yang moralis merasa bahagia dalam kebahagiaan semua. Sekarang rasanya masih terlalu pagi untuk menganalisa diriku. Lagipula dahulu aku selalu mengejek bila orang tua-tua berkata dan percaya akan takdir. Makin lama aku membaca makin timbul kesadaran ada sesuatu kekuatan yang supernatural, irrasional dan tidak dapat dimengerti yang menguasai seluruh masyarakat dan pribadi. Dan seolah-olah manusia tidak dapat menolaknya. Apakah sense untuk mengkhianati sebagai kekuatan yang mutlak? Entah. Tapi aku kira begitu.

12 April 1962
Betapa berat dan sukarnya perjuangan menuju kebenaran. Betapa gigihnya dekaden- dekaden ilmiah bertahan. Dan betapa kita harus memahaminya. Kita dalam bertindak dengan benar memakai segi rasio dan intuisi sedang mereka hanya membakar perasaan lalu pergi begitu saja. Ya, dan kita harus merintis dan berjuang membasmi akar-akar prasangka yang jauh kedalam alam bawah sadar. Dan rumput-rumput prasangka akan mudah bertumbuh, sedang pohon kebenaran begitu sukar.

31 Desember 1962
Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu. Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak.
Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.
Harus mengatasi ketakutan. Akhir-akhir ini aku ingin memublikasi suatu seruan terhadap keberanian bicara, yang kalau bisa dipublikasi. Aku kira tak ada yang mau memuatnya. Kita perlu konsepsi dewasa ini. Segala usaha yang bisa kita lakukan harus dikerahkan unruk bisa melahirkan. Dan untuk aku, yang harus dilakukan adalah belajar dan mencoba mengerti persioalan-persoalan dewasa ini.

19 Februari 1963
Kita tidak boleh menggantungkan nasib kita pada konsepsi, tapi harus menghayati dan menyadarinya.

16 Maret 1964
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari diri lagi maka terjunlah. Kadang- kadang saat ini tiba, seperti dalam revolusi dahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan terjun ke lumpur ini.

18 Januari 1966
Aneh, demonstrasi ‘liar’ ini (KAMI) mendapatkan sambutan yang luar biasa. Kira-kira lima ribu mahasiswa ikut dan secara kilat truk-truk yang lewat di salemba distop, diminta untuk mengantarkan mahasiswa ke pejambon (deparlu). Waktu itu, hatiku agak ‘tegang’ karena aku tahu bahwa demonstrasi ini adalah liar dan dalam keadaan seperti ini semuanya mungkin terjadi.
Memang karena disiplin kita bersedia untuk menderita…tetapi to the last point, apakah ABRI akan memihak rakyat yang menderita dan bersedia menujukan ujung bayonetnya pada koruptor dan kalau perlu dengan pemerintah korup ini?

24 Maret 1966
Saudara-saudara pendengar
Kita sudah muak dengan slogan-slogan kosong. Kita sudah muak, muak sekali lagi
muak. Kita tidak mau pidato-pidato yang setinggi langit yang isinya kosong belaka. Kita mau pemimpin-pemimpin yang rendah hati, yang melihat kenyataan yang riel dan
kemudian bekerja dengan keras memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.
Saudara-saudara pendengar Perjoangan kita yang yang sekarang ini adalah perjoangan untuk menegakkan daya kritis dari bangsa Indonesia, karena hanya dengan daya kritis, kita bisa melihat persoalan yang sebenarnya dan karena itu dapat secara tepat menanggulangi kesulitan- kesulitan kita. Ini adalah jalan menuju kearah kejayaan bangsa Indonesia. Kita tisdak lagi akan berkata bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya, karena melihat di pasar, beberapa orang rakyat membeli bunga gladiol untuk Lebaran. Kita tidak akan berkata bahwa bangsa Indonesia ini makmur, karena tidak menggoreng batu. Tapi kita yang akan melihat situasi yang sebenarnya dan bekerja menanggulangi kesulitan yang sebenarnya.Saudara-saudara pendengar Musuh kita yang sebenarnya ialah kebohongan-kebohongan dalam slogan-slogan. Tapi musuh kita yang utama adalah semua orang yang menyebarkan slogan-slogan yang mau mematikan daya kritis kita. Musuh kita adalah orang-orang yang menyatakana dirinya sebagai orang yang tidak pernah salah kata-kata dan perbuatannya, musuh kita adalah orang yang tidak mau dikritik.Kita akn berjoang melawan semua ini. Akan kita tegakkan kebenaran yang terang bagi rakyat.
…satu-satunya cara yang tepat untuk membereskan keadaan negara kita adalah dengan tindakan-tindakan yang tegas. Siapa saja yang bersalah harus diadili, tanpa melihat jabatannya ataupun jasa-jasanya. Setiap koruptor harus ditangkap tanpa melihat apakah dia baju hijau, baju putih dan baju merah. Hanya dengan tindakan-tindakan yang tegas ini, rakyat dapat dipulihakan kepercayaannya dan dalam waktu yang singkat (karena kita berlomba dengan waktu), ekonomi akan mulai naik. Konsekuensi dari tindakan- tindakan tegas ini telah dipikirkan, yaitu mungkin sekali akan terjadi clash-clash fisik antara beberapa kekuatan masyarakat. Tetapi ini hanyalah jalan satu-satunya yang dilihat.

28 April 1966
Apa yang telah dilakukan selama ini barulah merupakan sebagain kecil dari pembaharuan-pembaharuan yang harus dijalankan. Kita harus mengadakan pembaharuan di dalam pandangan berfikir, dalam norma-norma sosial dan hukum, dalam sistem-sistem kepemimpinan dan pemerintahan. Pada saat ini sangat perlu dikembangkan pemikiran kritis dan sehat. Janganlah kita kembali pada zamannya di mana satu suara yang tidak seirama lantas buru-buru dicap kontara revolusi, ditunggangi dsb. Berilah kesempatan pada tiap orang untuk dapat mengemukakan pendapatnya denagn bebas dan aman, tanpa ada tekanan apapun dari siapapun juga. Cegahlah jangan sampai ada satu golongan atau pribadi yang dapat merasa cukup kuat sehingga tidak mau menerima kritik ataupun pandangan pemikiran yang lain dari apa yang dianggapnya benar. Kita harus belajar dari pengalaman-pengalaman yang kita alami dahulu. Hanya dengan adanya jaminan kebebasan mimbar dan kebebasan mengemukakan pendapat, dapatlah dicegah terulangnya zaman diktator partai, diktator pers, diltator golongan, ataupun diktator instansi dan jawatan. Pada saat dan tingkatan perjuangan generasi muda sekarang, pelaksanaan kebebasan mengemukakan pendapat ini masih harus ditingkatkan,dan dalam hal ini sangatlah tepat biala par mahasiswa dan pelajar memberikan ciontoh pada masyarakat. Perhatikanlah bahwa di kalangan pelajar, pemuda dan mahasiswa tidak ada diktator KAMI dan diktator KAPPI, tidak ada warlords dalam resdimen dan batalion-batalion mahasiswa dan pelajar. Dengan demikian dapatlah ini dicontoh oleh kalangan masyarakat lainnya, mulai dari sarjana- sarjana, buruh, tani, pengusaha sampai ke pengemudi-pengemudi beca. Bukankah perjuanga kita semua ini ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan?

26 November 1966 surat untuk Herman Lantang
Saya hanya katakan bahwa soal-soal yang saya hadapi adalah soal-soal prinsip. Saya akan maju terus sendiri.

25 Desember 1967 surat untuk Herman Lantang
Faktor lain yang membuat saya merasa “sendiri” sekarang adalah bahwa saya makin tidak dimengerti oleh kawan-kawan. Mereka mengeluh bahwa saya keras kepala. Mungkin keluhan mereka benar. But I can’t change my personality. Saya tidak mau mengubah pendirian-pendirina saya selama saya percaya bahwa pendirian saya benar. Dan saya tak mau menjadi manusia massa, yang sikap pribadinya ditentukan oleh poster, slogan dan intimidasi. Barangkali orang-orang seperti saya hanya bisa muncul dalam saat-saat krisis. Sesudah itu masyarakat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang lunak. Dan mereka tidak berfikir kreatif, terlalu pragmatis. Kadang-kadang saya takut memikirkan masa depan.Dalam setiap masyarakat yang kacau, selalu ada kecenderungan untuk mencari kambing hitam, dan ikut histeria massa. Mereka yang akan menggunakan akal sehatnya akan jadi kurban. Tetapi jika kita ikut arus massa kita akan hancur. Pada saat-saat seperti inilah manusia-manusia jujur terpanggil untuk menyelamatkan masyarakat.

30 Juli 1968
Saya telah memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafiakn. Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.

20 Agustus 1968
Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis tau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya. Kadang-kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah. Apatiskah atau anarki. Moga-moga tidak menjadi kedua-duanya.

4 Juli 1967
Sampai detik ini saya tidak pernah merasa bahwa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang saya ekstremis. Tetapi bagi saya ada suatu hal yang pasti. Kita harus selalu jujur pada hati nurani kita, betapapun mahal harganya. Dan sebagai manusia kita dihadapkan oleh pemilihan-pemilihan yang meragukan. Sebelum kita melakukan sesuatu kita harus menanyakan diri kita sendiri. “Siapakah saya?” Dan jawaban kita menentukan pilihan kita..
Kadang-kadang kita bertanya pada diri kita sendiri: “Siapakah saya?” Apakah saya seorang manusia yangs sedang belajar dalam kehidupan ini dan mencoba terus menerus untuk berkembang dan menilai secara kritis segala situasi. Walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas?
Saya katakan pada diri saya “Saya adalah seoarang mahasiswa. Sebagai mahasiswa saya tak boleh mengingkari ujud saya. Sebagai seorqng pemuda yang masih belajar dan mempunyai banyak cita-cita, saya harus bertindak sesuai dengan ujud tadi.”
Karena itu saya akan selalu berani untuk terus terang, walaupun ada kemungkinan saya akan salah tindak. Lebih baik bertindak keliru daripada tidak bertindak karena takut salah. Kalaupun saya jujur pada diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan arah yang tepat. Saya adalah seorang manusia, buakan alat siapapun. Kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapapun juga, tetapi harus dihayati secara “kreatif.” A man is as he thinks. 

Sumber : Catatan Seorang Demonstran. Soe Hok Gie

Puisi soe

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat.

(Lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

Apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(Haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.

Soe Hok Gie
Selasa, 1 April 1969
—————————————————————

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku

Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

(CSD, Selasa, 11 November 1969)
Note:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
—————————————————————

Mandalawangi – Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966
—————————————————————

Pesan

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
 —————————————————————
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie

Sumber : Catatan Seorang Demonstran. Soe hok Gie