Sabtu, 05 Februari 2011

sekilas tentang sosok "soe hok gie"

Tidak banyak yang tau sosok Soe Hok Gie. Begitulah kemudian timbul inisiatif bagi rumah produksi Miles Films untuk mengangkatnya ke layar lebar. Selain mengenang “kepahlawanan” Soe Hok Gie (SHG) yang “tidak terakui”, juga menjadikan ia sesosok ikon gigih yang patut diteladani terlepas rumah produksi itu akan mengeruk keuntungan dengan mengomresialkan sosok ini. 
 Soe Hok Gie tampaknya nama itu masih sangat asing di telinga kita, bahkan mungkin ada yang tak pernah mendengar nama SHG. Saya sendiri juga bukan orang yang tahu betul siapa Soe Hok Gie, namanya mungkin kalah pamor daripada bintang" film atau vokalis band.. Di luar negeri sudah banyak film-film sejarah atau tokoh revolusioner seperti Che Guevara atau Kingdom of Heaven  beberapa waktu lalu yang jadi perbincangan. Film itu mengangkat sejarah perang salib antara Kristen dan Islam.
Kalau kita membaca ulasan, di sana ada alasan yang sama; ingin menghadirkan cerita ini seakan-akan menjadi dekat, sehingga dapat tertanam di benak. Memang hal ini bukan barang baru lagi, tetapi di Indonesia sendiri hal ini masih langka. Justru yang ada pada waktu Orde Baru adalah film-film dokumenter yang terus diulang; pembunuhan para jenderal oleh PKI ditampilkan secara bengis —yang konon ada kepentingan politik. Mungkin hal seperti ini lah yang ingin diangkat oleh Miles Films saat menggarap film Soe Hok Gie, berusaha untuk menghadirkan sosok Soe Hok Gie lebih dekat.. Siapa sebenarnya SHG itu? Apa yang dia lakukan sampai 'seolah' menjadi legenda? karena saya pernah membaca artikel tentangnya maka akan saya buka kembali tumpukan itu..
Di sana tertulis sebuah petikan pengantar:
Tanahku yang malang. Harga barang membumbung, semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror. Siapakah yang bertanggung jawab atas hal ini? Mereka generasi tua: Soekarno, Ali Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die semua pemimpin yang harus ditembak di lapangan banteng.

Apa yang menarik dari kata-kata itu? Hampir tidak ada. Tapi sadarkah, bahwa tulisan itu ditulis oleh seorang –yang hampir– remaja, pada usianya yang baru 17 tahun, tepatnya 10 Desember 1959, mungkin seumuran anak SMA, ini pun di zaman yang tak lazim di usianya, jaman orde baru ketika semua pendapat dilarang disuarakan justru ada nama Soekarno yang dengan beraninya ditentang! agar kemudian ditembak dilapangan banteng. Sungguh berani.. Ia menulis sebuah catatan harian yang luar biasa. Catatan yang kritis, jujur, berani, dan —malah ada yang bilang— “mengerikan”.
SHG adalah keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. SHG merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman.
Sejak masih sekolah, SHG dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak umur 14 tahun masih Sekolah Dasar (SD), SHG bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara SHG memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya,

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi SHG buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi SHG? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Sekali waktu Ia pernah berdebat dengan gurunya tentang siapa sebenarnya penulis Kembali Pulang Si Anak Hilang -kalau saya tidak salah-, ia merasa yakin kalau ia benar. guru itu merasa tidak terima karena merasa digurui oleh anak muridnya sendiri, ia kemudian menghukum Gie. dalam catatan hariannya dia menulis “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam
Selama di SMA inilah minat SHG pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik. Masa-masa SMA inilah sikap kritisnya semakin tumbuh, seperti saat Gie menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.” begitu tulisnya

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, SHG dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemudian kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. SHG memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah, sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Tahun 1962-1969 ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan ilmu sejarah. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru. Ketika keadaan perekonomian di tanah air semakin tidak terkendali sebagai akibat adanya depresi perekonomian pada sekitar dekade enam puluhan yang mengakibatkan kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pemotongan nilai mata uang (Sanering) yang menurut Gie hal ini akan semakin mempersulit kehidupan rakyat Indonesia

Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Gie resah. Dia mencatat: “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Maka lahirlah sang demonstran.

Maka saat itulah hari-hari Gie diisi dengan aktivitas-aktivitas seperti rapat, demonstrasi, membagikan ribuan selebaran propaganda sampai teror terhadap penguasa saat itu.

"Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas,” begitu tulisnya.

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah di jalan menyuarakan Tritura Gie ikut ambil bagian dan berdiri di barisan depan.. Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya. daripada masuk DPR-GR seperti teman-teman yang lain ia lebih memilih menyendiri naik gunung.

Selain itu Gie juga ikut mendirikan Mapala UI (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia). Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442 m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya: “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.”

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Gie menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia, antara lain, “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu Gie sering gelisah dan berkata, “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibunya dia cuma tersenyum dan berkata, “Ah, mama tidak mengerti". kritik terus dilancarkan kepada pemerintah namun suatu hari dia berkata pada Arief. “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.
saya mengibaratkan Gie sebagai pahlawan perang dia begitu dipuji-puji ketika berhasil pulang dari 'medan perang' semua orang sangat menghargainya, namun ketika sang pahlawan mau mencari pasangan hidup maka pasti orang tua sang gadis tidak akan setuju, alasannya jelas pekerjaan yang dia lakukan terlalu beresiko. inilah yang terjadi pada Gie.

Kepada Arief, Gie berkata, “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si ***, saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”. Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada Arief. Arief menuturkan, “Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut. Gie tewas bersama rekannya, Idhan Lubis. Tanggal 16 Desember 1969, Soe Hok Gie yang berencana merayakan ulang tahunnya di puncak Mahameru menghembuskan nafasnya yang terakhir karena terjebak gas beracun.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. Saat jenazah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie, 24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang.
Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung”, kata Rudy Badil.

Mengingat kematiannya yang masih muda saya ingat quote yang diambil dari bukunya Catatan Seorang Demonstran

"Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar